Friday, August 26, 2016
AHLAQ
Takaful dalam pengertian
muamalah diatas, ditegakkan diatas tiga prinsip dasar yaitu [5]
:
1. Saling Bertanggung Jawab.
Banyak Hadits Nabi SAW seperti
yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, yang mengajarkan bahwa hubungan
orang-orang yang beriman dalam jalinan rasa kasih sayang satu sama lain, ibarat
satu badan, bila satu bagian tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh akan turut
merasakan penderitaan
“Setiap
orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab
terhadap orang-orang dibawah tanggung jawab kamu” (HR Bukhari Muslim)
“Tidak sempurna keimanan seorang
mu`min sehingga ia menyukai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia menyukai
sesuatu itu untuk dirinya sendirinya” (HR Bukhari Muslim)
2. Saling Bekerjasama dan Saling
membantu.
Allah SWT memerintahkan agar
dalam kehidupan bermasyarakat ditegakkan nilai tolong-menolong dalam kebajikan
dan taqwa, sebagaimana firmanNya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة: 2).
“.....Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, janganlah tolong menolong dalam dosa
dan permusuhan” (QS al-Maidah 5:2)
Hadits Nabi SAW mengajarkan
bahwa orang yang meringankan kebutuhan hidup saudaranya akan diringankan
kebutuhannya oleh Allah. Allah akan menolong hambanya selagi ia menolong
saudaranya.
3. Saling Melindungi
Hadits Nabi SAW
mengajarkan bahwa belum sempurna keimanan seseorang yang dapat tidur dengan
nyenyak dengan perut kenyang, sedangkan tetangganya menderita kelaparan.
“Orang muslim adalah orang yang
memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari gangguan perkataan dan
perbuatan”.
Dasar pijak Takaful dalam
asuransi mewujudkan hubungan manusia yang Islami diantara para pesertanya yang
sepakat untuk menangung bersama antara mereka, atas resiko yang diakibatkan
musibah yang diderita oleh peserta sebagai akibat dari kebakaran, kecelakaan,
kehilangan, sakit dan sebagainya. Semangat asuransi Takaful adalah menekankan
kepada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan di antara peserta.
Persaudaraan di sini meliputi dua bentuk: persaudaraan berdasarkan kesamaan
keyakinan (ukhuwah islamiayah) dan persaudaraan atas dasar kesamaan derajat
manusia (ukhuwah insaniyah)[6].
Dalam praktek kehidupan
bermasyarakat, para sahabat telah memberikan contoh yang indah tentang takaful
ijtima`i, yaitu tatkala kaum muhajirin telah sampai di Maqdinah Al
Munawarah, dan Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum anshar,
maka orang anshar saling berlomba dalam memberikan penghormatan kepada kaum
muhajirin. Ada seseorang anshar yang berkata kepada seorang muhajirin,
“pilihlah di antara harta kekayaanku yang kamu sukai, saya akan memberikannya
kepadamu. Dan pilihlah di antara istriku yang kamu suka, saya akan
menceraikannya dan nikahilah”[7]
Ini adalah gambaran dari sebuah
masyarakat yang menjadikan kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin
sebagai landasan prilaku mereka.
Contoh lain, diriwayatkan bahwa
orang-orang yang terluka pada perang Yarmuk menolak air yang disodorkan kepada
mereka meski mereka dalam keadaan haus. Masing-masing menyodorkan ait tersebut
kepada temannya yang sedang terluka meski ia sendiri sangat membuthkan, karena
yakin bahwa saudaranya itu lebih membutuhkannya. Akhirnya semuanya meninggal
demi untuk menyelamatkan nyawa teman. Itulah takaful ijtima`i .
Menurut Syekh Abu Zahra [4],
yang dimaksud dengan al-Takaful al-Ijtima`i itu
ialah bahwa setiap individu suatu masyarakat berada dalam jaminan atau
tanggungan masyarakatnya. Setiap orang yang memiliki kemampuan menjadi
penjamin dengan suatu kebajikan bagi setiap potensi kemanusiaan dalam
masyarakat sejalan dengan pemeliharaan kemaslahatan individu, dalam hal menolak
yang merusak dan memelihara yang baik agar terhindar dari berbagai kendala
pembangunan masyarakat yang dibangun diatas dasar-dasar yang benar.
Ungkapan yang paling tepat untuk makna al-Takaful al-Ijtima`i kata Syekh
Abu Zahra ialah sabda Nabi SAW:
اَلْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه مسلم عن أبي موسى)
“Seorang
mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan
bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)
مَثَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ
الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى (رواه مسلم عن النعمان بن بشير)
“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan
mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka
bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)
20 CARA MANAGEMENT WAKTU
20 Tips Manajemen Waktu Bagi Mahasiswa Kedokteran
Kata orang, mahasiswa kedokteran itu mahasiswa yang super
duper sibuk. Dengan buku yang segede bantal, waktu main yang kurang, ujian yang
datang tiap hari dan juga amanah-amanah lain diluar kuliah yang sering
bekejar-kejaran. Seakan-akan waktu 24 jam itu terasa kurang. Apa kamu termasuk
orang seperti ini ?Nah, ini ada beberapa tips yang bisa aku bagi ke temen-temen, mengenai cara mengatur waktu yang baik. Mudah-mudahan tak hanya sebatas dibaca aja, tapi harus langsung diaplikasikan. Ini dia :
1. Buat rencana harian.
Buat rencana harianmu sebelum dikacaukan dengan agenda-agenda lainnya. Sebaiknya lakukan ini dipagi hari atau malam sebelum kamu tidur. Dengan adanya rencana ini membuat kamu mendapat gambaran besar tentang rencana hari itu kamu mau ngapain aja. Kerjaanmu hari itu cuma satu, patuhi jadwal yang sudah kamu buat sendiri.
2. Batasi waktu tiap kerjaan.
Dalam jadwal yang sudah kamu buat tadi, batasi tiap kegiatan dengan detail. Misalnya kamu harus menyelesaikan membaca buku fisiologi bab kardiorespirasi sampai jam 1 siang, terus mengerjakan laporan sampai jam 4 sore, kemudian belajar anatomi sampai jam 8 malam. Dengan begitu, waktu untuk kegiatan-kegiatan lainnya menjadi tidak terpotong oleh kegiatan sebelumnya yang ga bisa kamu kontrol.
3. Gunakan kalender.
Dalam manajemen waktu itu, sebaiknya gunakan kalender untuk mengatur semua daftar kegiatan yang kamu punya, sehingga kamu punya gambaran besar mengenai kegiatan seharian, seminggu atau bahkan sebulan kedepan. Saya pribadi biasanya menggunakan kalender di iPod Touch saya, atau terkadang menggunakan Microsoft Outlook. Teman-teman juga dapat mencoba menggunakan Google Calendar yang dapat diakses dari mana aja, asal masih ada koneksi internet.
4. Gunakan organizer.
Bisa berupa buku organizer khusus atau menggunakan perangkat digital seperti yang saya miliki (iPod Touch). Intinya, masukkan semua daftar kerjaan kamu, proyek, tugas-tugas, dan hal-hal penting yang mendukung jadwalmu seharian.
5. Tahu deadline.
Tentukan kapan kamu harus menyelesaikan tugasmu. Tandai secara jelar dalam kalender atau organizermu.
6. Belajar berkata “Tidak”.
Ini memang susah, tapi jika kamu dapat melakukannya, kamu bisa fokus pada hal-hal yang seharusnya kamu lakukan. Jika kamu merasa tidak dapat menghandle nya, katakan tidak.
7. Target lebih awal.
Ketika kamu menargetkan ontime, biasanya kerjaan kamu akan selesai ontime atau sedikit telat. Nah, bagaimana kalau kita menargetkan semua deadline kita lebih awal, sehingga ada waktu toleransi jika telat. Untuk janjian, jadwalkan lebih awal. Untuk sebuah laporan, targetkan selesai sehari sebelumnya.
8. Punya jam yang gampang terlihat.
Terkadang kita begitu larut dengan berbagai kerjaan kita sampai lupa waktu. Nah, sebaiknya letakkan jam yang cukup gede di tempat kita biasa menghabiskan waktu.
9. Atur reminder 15 menit sebelumnya.
Beberapa program kalender memiliki fungsi reminder. Jika kamu punya janjian yang penting, set alarm 15 menit sebelum jadwalnya.
10. Fokus.
Apa kamu mengerjakan banyak hal sekaligus dan tak satupun selesai ? Jika begitu, fokuslah pada satu hal pekerjaan pada satu waktu.
11. Cegah gangguan.
Sering merasa terganggu dengan telepon atau sms yang masuk saat mengerjakan laporan ? Atau perhatian kamu suka teralih dengan twitter dan facebook ? Tutup semua jalur-jalur pengganggu itu. Ketika gangguan-gangguan tadi dapat diminimalkan, kamu bisa lebih berkonsentrasi.
12. Catat penggunaan waktumu.
Kalau kamu sedang online, kamu bisa menggunakan EggTimer untuk mencatat waktu online kamu. Jadi kamu akan tahu berapa waktu yang kamu habiskan untuk Facebook, Twitter, dan mengerjakan tugas kuliahmu.
13. Jangan perfeksionist.
Terkadang sikap ingin menjadikan segala sesuatunya sempurna dapat menjadikan hambatan yang cukup besar untuk menyelesaikan tugas dan tidak efektif. Jadi lakukan sebisamu.
14. Prioritas.
Karena kamu tidak dapat melakukan apapun dalam satu waktu, coba prioritaskan hal terpenting yang harus kamu lakukan.
15. Delegasikan.
Jika ada sesuatu yang dapat orang lain lakukan untukmu, delegasikan tugas itu. Hal ini akan memperingan beban kerjamu.
16. Kerjakan tugas-tugas yang setipe dalam satu waktu.
Untuk kerja-kerja yang berhubungan, silahkan kerjakan bersama-sama dalam satu waktu. Misalnya untuk menulis laporan dan belajar. Kamu bisa belajar sambil mengerjakan laporan, karena ketika menulis laporan kamu pasti butuh referensi tambahan. Nah, bisa sekalian belajar kan ?
17. Eliminasi pemakan waktumu.
Merasa sangat terbuang waktumu oleh Facebook, Twitter, dan email ? Berikan waktu untuk mencek akun-akun tadi dalam waktu tertentu, dan patuhi. Tidak setiap saat kamu harus mengeceknya. Coba juga untuk menghilangkan bookmark ke situs-situs tadi.
18. Potong kegiatanmu.
Satu alasan kenapa kamu kesulitan mengatur waktu adalah karena kamu tidak memotong kegiatan yang sudah lewat batas waktu. Walaupun itu mengasyikkan, jangan biarkan itu mengganggu kegiatan-kegiatanmu yang lain.
19. Berikan waktu diantara kegiatanmu.
Jangan meletakkan jadwalmu sangat mepet waktunya. Berikan setidaknya 5-10 menit untuk narik nafas dan rehat sebentar. Waktu yang singkat itu bisa juga kamu gunakan untuk mereview tugas sebelumnya dan mempersiapkan diri untuk tugas berikutnya.
20. Pecah kerjaan yang besar jadi kecil.
Terkadang kita akan merasa lelah jika melihat kerjaan yang besar sekaligus. Coba pecah kerjaan yang dirasa besar tadi kedalam kerjaan yang kecil-kecil dan mudah dicapai.
Itu 20 tips yang bisa saya bagi kali ini. Apa kamu punya tips lainnya ? Silahkan bagi di kolom komentar.
QOWAID TAFSIR
Oleh
: Abu Athif, Lc.
Al
Qurân adalah Kitabulloh yang tak akan habis untuk diambil ibroh dan kandungan
ilmunya. Karena dalamnya penggalian kandungan ilmu yang ada dalam al Qurân
sudah semestinya memerlukan piranti dan prosedur yang bisa menghantarkan pada
hasil penggalian ilmu yang baik dan benar.
Menelusuri
pelajaran dan hikmah dalam Al Qurân melalui penafsiran ayat atau surat bukanlah
seperti menafsirkan untaian kalimat atau alinea biasa. Dibutuhkan sikap waro’
dan kematangan pribadi dalam mempelajarinya. Karena hakikat tafsir adalah
meriwayatkan dari firman Alloh ta’ala. Dikarenakan agungnya ilmu tafsir ini,
maka tidak mengherankan bila sosok seperti Abu Bakar berkata ketika ditanya
tentang suatu ayat yang belum diketahui secara pasti : “..Langit
manakah yang akan menaungiku, bumi manakah yang membawaku, bila aku berkata
sesuatu dalam Kitabulloh yang aku tidak mengetahuinya..?!”.[1]
Seperti
halnya pada disiplin ilmu lain, ilmu tafsir Al Qurân memiliki kaidah-kaidah
baku yang harus diperhatikan dalam menafsirkan ayat atau surat. Berlepas diri
dari kaidah-kaidah ilmiyah tentunya akan menghantarkan seseorang kepada
kesalahan fatal dalam memahami suatu ayat. Untuk itulah para ulama berupaya
sekuat tenaga untuk mengokohkan bangunan ilmiyah melalui kaidah-kaidah baku
sebagai upaya penjagaan asholah (originilitas) keilmuan Islam.
Dalam
makalah singkat ini insya Alloh akan dipaparkan beberapa kaidah penting serta
piranti utama yang hendaknya diperhatikan oleh seorang mufassir atau parathullabul
‘ilmi (penuntut ilmu) ketika berinteraksi dengan tafsir ayat-ayat Al
Qurân.
Definisi Qowaid Tafsir
Secara
bahasa (etimologi) qowaid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata qo’idah
yang berarti pondasi atau dasar[2]. Secara isitlah qoidah memilki makna:
حكم
كلي يتعرف به على أحكام جزئية
“Suatu
hukum umum yang digunkan untuk mengetahui hukum-hukum turunan atau parsial”.[3]
Adapun
tafsir secara bahasa bermakna penjelasan. Secara istilah diartikan ilmu yang
membahas tentang Al Qurân dari sisi dilalah sesuai makna yang
dikehendaki oleh Alloh ta’ala dengan kemampuan manusia.[4]
Sedangkan
yang dimaksud dengan qowa’id tafsir dalam hal ini adalah
kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang diperlukan oleh para mufassir dalam
memahami ayat-ayat Al Qurân. Dengan ungkapan lain, para ulama mendefinisikan
qowaid tafsir sebagai :
“الأحكام الكلية التي
يتوصل بها إلى استنباط معاني القرآن العظيم ومعرفة كيفية الاستفادة منها”
“Hukum-hukum
umum yang bisa menghantarkan pada pengambilan kesimpulan makna-makna Al Qurân
Al ‘Adzim dan pengetahuan tentang tata cara pengambilan faedah darinya”.
Piranti Pribadi Seorang Mufassir
Sebelum
melakukan penggalian ilmu dan ibroh dalam Al Qurân, hendaknya seorang mufassir
melengkapi dirinya dengan piranti-piranti kepribadian yang menopang
kaidah-kaidah tafsir. Ibarat sebuah computer, maka dibutuhkan perangkat
hardware dan software. Maka dalam masalah tafsir Al Qurân, kesholihan pribadi
seorang mufassir adalah hardwarenya dan kaidah-kaidah tafsir adalah
softwarenya.
Beberapa
prinsip penting yang bisa membangun kepribadian seorang mufassir adalah :
1.
Ta’dzim terhadap nash-nash syar’i ( تعظيم النصوص الشرعية ).
Sesungguhnya
pokok permasalahan dalam diinul Islam adalah penyerahan sepenuhnya kepada Alloh
-عز
وجل- yang disertai ketundukan dan ketaatan, sebagaimana firman
Alloh :
وَأَنِيبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)
“Dan
kembalilah kepada Robb kalian dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang
azab kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong”. (Az
Zumar : ayat 54)
Ujud
nyata dari penyerahan diri adalah pengagungan (ta’dzim) terhadap nash-nash
syar’i. semua yang menjadi perintah ataupun larangan dalam Islam sudah
sewajibnya untuk diagungkan. Sebagaimana firman Alloh ta’ala :
ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32)
“Demikianlah
(perintah Alloh) dan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-sui’ar Alloh, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al Hajj : 32)
Telah
menjadi keharusan bagi seorang ahlil ‘ilmi ataupun para penuntut ilmu untuk
senantiasa membuktikan sikap ta’dzim terhadap nash syar’I dengan memberikan
ketundukan dan ketaatan mutlak kepada apa yang ditetapkan oleh Alloh ta’ala dan
Rosul-Nya -صلى الله عليه وسلم-, sebagaimana firman Alloh ta’ala :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(51) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَائِزُونَ (52)
“Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Alloh dan Rosul-Nya
untuk menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan
kami taat” dan mereka itulah orang-orang yag beruntung. Dan barang siapa yang
taat kepada Alloh dan Rosul-Nya dan takut kepada Alloh dan bertakwa
kepada-Nya,maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (An
Nuur: 51-52)
Dalam
bentuk pengagungan terhadap nash-nash syar’i ini kita bisa menengok generasi
awal umat ini. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dari Abdulloh bin
Umar, beliau berkata : “Aku telah mendengar Rosululloh -صلى
الله عليه وسلم- bersabda : (( Janganlah kalian melarang
wanita-wanita ke masjid apabila mereka telah izin kepada kalian)) lalu Bilal
bin Abdulloh berkata : “Demi Alloh, kami pasti melarang mereka. Kemudian
Abdulloh bin Umar menghampirinya dan mencelanya dengan celaan yang buruk
kemudian berkata; aku telah mmeberitahukan kepadamu dari Rosululloh -صلى
الله عليه وسلم- lalu engkau mengatakan :Kami akan
melarang mereka?![5]
Contoh
lain dalam pengagungan terhadap nash syar’i adalah seperti apa yang dilakukan
oleh Said bin Musayyib – رحمه الله – tatkala melihat seseorang yang
melaksanakan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua roka’at lalu ia
menegurnya. Orang tadi berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Alloh akan
mengazabku dengan banyaknya sholat?! Lalu Sa’id bin Musayyib menjawab :
“Tidak.., akan tetapi Alloh akan mengazabmu karena kamu menyelisihi sunnah”.
2.
Berupaya bersandar kepada sunnah shohihah ( الاعتماد
على السنة الصحيحة)
Alloh
telah memerintahkan ketaatan kepada Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- dalam banyak ayat,
di antaranya adalah firman Alloh -عز وجل- :
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan
apa saja yang diberikan oleh Rosul kepada kalian maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah”. (Al Hasyr : 7)
Menyandarkan
ilmu kepada sumber yang shohih sudah menjadi tradisi ilmiah generasi awal umat
ini. Seperti yang diriwayatkanoleh Bukhori dan Muslim dalam kedua kitab
shohihnya, dari Abdulloh bin Mas’ud -رضي الله عنه- ia berkata: “Alloh telah melaknat
wanita-wanita pemberi tato dan wanita-wanita yang meminta ditato, wanita yang
mencabut alis serta wanita yang merenggangkan gigi untuk hiasan dan para
perubah ciptaan Alloh”.
Lalu
sampailah hadits itu kepada salah seorang wanita dari Bani Asad, namanya adalah
Ummu Ya’qub, lalu ia mendatanginya (Abdulloh bin Mas’ud) lalu berkata :
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknati ini dan itu. Maka
Ibnu Mas’ud menjawab : “Bagaimana aku tidak melaknati apa yang dilaknati oleh
Alloh dan Rosul-Nya -صلى الله عليه وسلم- dan siapa saja yang dilaknati dalam
Kitabulloh?! Lalu wanita tadi berkata : “Sesungguhnya aku telah membaca antara
Al Qurân dan aku tidak mendapatkan apa yang kamu katakana”. Ibnu Mas’ud
menjawab : Jika engkau membacanya pastilah engaku mendapatinya, bukankah engkau
telah membaca : وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا ?! wanita tadi berkata : “Benar..”, Ibnu Mas’ud berkata :
“Sesungguhnya Nabi -صلى الله عليه وسلم- telah melarangnya”.[6]
3.
Pemahaman yang benar terhadap nash syar’I ( صحة
فهم النصوص)
Sesungguhnya
memahami nash-nash syar’I secara benar merupakan kunci utama dalam kaidah
pengambilan dalil (istidlal). Seseorang tidak akan mampu memahami makan yang
dimaksud oleh Alloh dan Rosul-Nya -صلى الله عليه وسلم- kecuali dirinya
memiliki pemahaman yang lurus terhadap Kitab dan Sunnah. Banyaknya bid’ah dan
kesesatan bersumber dari kesalahan dan buruknya pemahaman terhadap dalil
syar’i.
Umar
bin Khottob -رضي الله عنه- pernah berkata dalam suratnya kepada Abu
Musa Al Asy’ari -رضي الله عنه- : “Pahamilah apa yang bercampur
dalam dirimu dari sesuatu yang tidak ada dalam Kitabulloh dan sunnah
Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- kemudian ketahuilah yang memiliki
kesamaan dan keserupaan lalu qiyaskanlah dengan perkara-perkara yang telah kau
ketahui dan bersandarlah kepada yang lebih dekat dengan Alloh ta’ala dan yang
paling dekat dengan kebenaran”.[7]
Kebenaran
dalam memahami nash-nash syar’I merupakan kenikmatan agung yang diberikan oleh
Alloh ta’ala kepada hamba-Nya, demikianlah penuturan Imam Ibnu Qoyyim al
Jauziyah saat memberikan komentar tentang surat Kholifah Umar bin Khottob -رضي
الله عنه- kepada Abu Musa Al Asy’ari -رضي الله عنه- .[8]
Dalam rangka menuju kepada pemahaman yang benar diperlukan pondasi ilmiah yang benar pula. Di antara pondasi ilmiah itu adalah :
Dalam rangka menuju kepada pemahaman yang benar diperlukan pondasi ilmiah yang benar pula. Di antara pondasi ilmiah itu adalah :
1. Berdasarkan
pada manhaj para sahabat dalam mengambil kebenaran
2. Memiliki
pengetahuan tentang bahasa Arab
3. Pengumpulan
data dan dalil syar’I dalam pembahasan tertentu
Ilmu-ilmu Penunjang
Orang
yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al Qurân, lebih dahulu harus tahu dan
memahami beberapa kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat
yang hendak ditafsirkan.
Bagi
seorang mufassir hendaknya memiliki pengetahuan pendukung dalam menafsirkan
suatu ayat atau surat. Ada beberapa macam pengetahuan pendukung yang termasuk
dalam kaidah-kaidah tafsir, seperti :
1.
Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah
makna yang ditunjukkan oleh lafadz dalam pembicaraan atau penuturan.
Adapun mafhum adalah makna yang difahami bukan dari pembicaraan.
2.
‘Aam dan Khoos
‘Aam adalah
lafadz yang member pengertian umum yang mencakup segala sesuatu yang termasuk
dalam lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah maupun dalam bilangan.
Adapun khoos adalah
lafadz yang menunjukkan pada pengertian tertentu.
3.
Muthlaq dan Muqoyyad
Muthlaq adalah
nash yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak ada kaitannya dengan
ayat lain.
Adapun muqoyyad adalah
nash yang menunjukkan kepada suatu pengertian akan tetapi pengertian tersebut
harus dikaitkan dengan pengertian yang diberikan oleh ayat atau nash lain.
4.
Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah
ayat atau nash yang menunjukkan kepada suatu pengertian yang tidak terang dan
tidak rinci atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafadz yang memerlukan
penafsiran yang lebih jelas.
Mubayyan adalah
suatu ayat atau nash yang diperoleh pada ayat yang lain.
5.
Muhkan dan Mutasyabih
Muhkam adalah
nash yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang dimaksudkannya atau
dengan ungkapan lain; nash yang sudah memberikan pengertian pasti.
Mutasyabih adalah
nash yang mengandung pengertian yang masih samar dan mempunyai kemungkinan
beberapa arti.
6.
Nasikh dan Mansukh
Nasikh adalah
ayat-ayat atau hadits-hadits yang memiliki peranan atau fungsi mengganti hukum
syar’I dengan hukum syar’I lainnya.
Adapun mansukh adalah
ayat-ayat atau hadits-hadits yang hukumnya telah diganti atau dihapus dengan
dalil lain.
Kaidah-kaidah Tafsir
Di
samping menguasai ilmu-ilmu pendukung seperti yang telah disebutkan, seorang
mufassir hendaknya juga menguasai kaidah-kaidah dasar dalam penafsiran. Di
antara kaidah-kaidah itu adalah :
1.
التفسير إما بنقل ثابت أو رأي صائب وما سواهما فباطل
“Tafsir
hanya dengan penukilan yang kuat dan pemikiran yang benar selain keduanya
adalah bathil”
Kaidah
ini menegaskan bahwa dalam penafsiran hanya menggunakan dua cara; penukilan
riwayat yang kuat atau ijtihad ro’yu yang dibenarkan. Penukilan yang kuat
adalah dilihat dari sumbernya. Dalam menafsirkan Al Qurân penukilan yang kuat
bisa bersumber dari Al Qurân, sunnah nabawiyah, perkataan para sahabat,
perkataan tabi’in, dan bahasa Arab.
Adapun ro’yu yang
benar adalah pemikiran yang berdasar pada ilmu atau dugaan kuat yag sejalan
dengan konteks kebahasaan bersamaan dengan memperhatikan dasar dari Al Kitab
dan As Sunnah serta apa yang diriwayatkan dari generasi salaf
2.
إذا عرف التفسير من جهة النبي -صلى الله عليه وسلم- فلا
حاجة إلى قول من بعده
“Apabila
telah diketahui penafsiran suatu ayat dari Nabi -صلى
الله عليه وسلم- maka tidak perlu lagi membutuhkan
perkataan orang lain”
Sebagai
misal dalam penerapan kaidah ini adalah lafadz “Iman” dalam Al Qurân.
Orang-orang murjiah menganggap iman hanya sebagai bentuk pengakuan batin
semata. Namun anggapan tersebut bertentangan dengan sabda Nabi -صلى
الله عليه وسلم- : “Bahwa iman itu enam puluh
sebian cabang dan rasa malu sebagian dari iman”.[10]
Hadits
tersebut mamberikan penjelasan bahwa iman bukan hanya pengakuan semata
melainkan perlu adanya pembuktian dengan amal.
3.
ألفاظ الشارع محمولة على المعاني الشرعية، فإن لم تكن فالعرفية،
فإن لم تكن فاللغوية
“Lafadz-lafadz
syar’I hendaknya dibawa pada makna syar’I, jika tidak sesuai maka dengan makna
‘urfi dan jika tidak sesuai dengan makna bahasa”
Penerapan
kaidah ini seperti dalam memahami makna sujud pada ayat :
وَلِلَّهِ
يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ (15)
“Dan
semua sujud kepada Alloh, baik yang di langit maupun yang di bumi, baik dengan
kemauan sendiri maupun terpaksa (dan sujud pula) baying-bayang mereka, pada
waktu pagi dan petang hari”. (Ar Ro’du : 15)
Kata
sujud pada ayat tersebut apakah dalam artian hakiki yaitu dengan meletakkan
dahi di atas tanah ataukan artianmaknawi yaitu ketundukan terhadap apa yang
telah menjadi ketetapan Alloh ta’ala. Dalam masalah ini jumhur ulama ahli
tafsir membawa makna sujud pada arti hakiki.
Contoh
lain adalah lafadz sholat pada ayat :
وَلَا
تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ
إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (84)
“Dan
janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan sholat untuk seseorang yang mati di
antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau
berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Alloh
dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (At
Taubah : 84)
Secara
bahasa, sholat bermakna doa. Adapun makna syar’I dalam ayat tersebut adalah
berdiri di hadapan mayit dan mendoakan baginya dengan sifat tertentu (sholat
jenazah). Makna syar’I inilah yang dibawa ataupun yang dimaksud oleh nash
tersebut.
4.
قول الصحابي مقدم على غيره في التفسير وإن كان ظاهر السياق لا يدل
عليه
“Perkataan
seorang sahabat lebih didahulukan –setelah Nabi -صلى
الله عليه وسلم- – dari selainnya dalam masalah
tafsir meskipun dhohir rangkaian kata (siyaq) tidak menunjukkan hal itu”
Dalam
masalah ini, tidak ada keraguan dalam menerima ‘adalah (عدلة) para
sahabat Nabi. Mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu mengetahui makna-makna
Al Qurân serta menyaksikan langsung turunnya wahyu. Karena factor itulah para
sahabat memiliki kedudukan tinggi dalam islam.
Dalam
penerapan kaidah ini bisa diambil sebuah contoh ketika menafsirkan makna kata
“syahiid” pada ayat :
قُلْ
أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَكَفَرْتُمْ بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ
مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ
لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (10)
“Katakanlah;
terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (Al Qurân) ini
datang dari Alloh, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang
saksi dari Bani Isroil yang mengakui (kebenaran) yang serupa
dengan (yang disebut dalam ) al Qurân lalu dia beriman; kamu menyombongkan
diri. Sungguh Alloh tidak member petunjuk kepada orang-orang yang dzolim”. (Al
ahqof : 10)
Para
ulama berbeda pendapat tentang siapa yang menjadi “Syahiid” (=seorang saksi).
Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Nabi Musa bin
Imron dan yang dimaksud dengan “mitslihi” adalah Taurot. Sebagian yang lain
mengatkan bahwa yang dimaksud dengan “syahid” adalah Abdulloh bin Salam, adapun
yang dimaksud dengan “mitslihi” adalah Al Qurân. Pendapat kedua inilah yang
dikuatkan dengan riwayat hadits dari Sa’ad bin Abi Waqosh -رضي
الله عنه- ia berkata : “Aku tidak mendengar Rosululloh -صلى
الله عليه وسلم- bersabda kepada seseorang yang dia
termasuk penduduk surge melainkan kepada Abdulloh bin Salam, ia berkata :
tentang dirinya-lah turun ayat ((وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ)).[11]
5.
إذا اختلف السلف في تفسير الآية على قولين لم يجز لمن بعدهم إحداث
قول ثالث يخرج عن قولهم
“Apabila
terjadi perbedaan dalam penafsiran ayat dan terdapat dua pendapat di kalangan
ulama salaf, maka tidak boleh bagi sesudahnya memunculkan pendapat ketiga di
luar pendapat mereka”.
Kaidah
ini disebutkan karena bila terjadi penambahan pendapat bersamaan dengan
kemungkinan tarjih dari dua pendapat maka akan berimplikasi pada kesalahan
semua pendapat yang ada dan tidak diketahui kebenarannya. Tentunya hal ini
adalah tidak boleh, karena seakan-sekan mengandung pengertian bahwa umat ini
lalai dari kebenaran.
Namun
apabila datang pendapat ketiga sebagai penjelas dari pendapat sebelumnya, maka
haruslah dilihat dulu apakah penjelasan itu keluar dari ijma’ ataukah tidak.
Jika keluar dari ijma’ ditolak dan jika tidak maka bisa diterima.
Contoh
penerapan kaidah ini adalah seperti pada penafsiran firman Alloh ta’ala :
﴿ ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ ﴾
“Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang)
pada tali agama Alloh dan tali (perjanjian) dengan manusia, mereka mendapat
murka dari Alloh dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena
mereka mengingkari ayat-ayat Alloh dan membunuh para Nabi tanpa hak (alasan
yang benar), yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas”. (Ali
Imron : 112)
Sebagian
orang mengira bahwa yang dimaksud dengan وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ adalah
sokongan dunia barat untuk yahudi. Tentunya penafsiran ini tidak bisa diterima
dikarenakan para ulama tafsir telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ adalah
perjanjian yang diberikan untuk kaum kafir dari kaum muslimin berupa jizyah[12]. Adapun kehinaan tetap melekat pada diri
mereka orang-orang kafir dan tidak akan lepas selama kekafiran melekat pada
diri mereka.
6.
فهم السلف للقرآن حجة يحتكم إليه لا عليه
“Pemahaman
salaf (para sahabat) terhadap Al Qurân menjadi hujjah dan landasan hukum”
Para
sahabat adalah orang yang paling berbakti, paling bagus pemahaman terhadap
agama dan mendapatkan keutamaan langsung bertatap muka ketika belajar secara
talaqqi dengan Rosululloh -صلى الله عليه وسلم-, maka sudah barang
tentu penafsiran mereka terhadap Al Qurân memiliki kelebihan disbanding yang
lain.
Kaidah
ini memberikan penjelasan bahwa penafsiran para sahabat tidak bisa dihakimi
oleh perkataan orang lain atau kaidah-kaidah bahasa dan ushul.
Dalam
masalah ini perlu difahami bahwa apa yang dinukilkan dari salaf (para sahabat)
tentang perbedaan maka perbedaan yang dimaksud adalah dalam bab tanawwu’ (=variatif)
bukan pada perbedaan / ikhtilaf tadlod(=kontradiktif).
Salah
satu contoh dalam penerapan kaidah ini adalah dalam perbedaan penafsiran الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ sebagian dari kalangan salaf mengatakan bahwa maksudnya adalah
Al Qurân, adapun sebagian yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah jalan ubudiyah dan
ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya -صلى الله عليه وسلم- .
7.
تفسير القرآن بمقتضى اللغة يراعي المعنى الأغلب والأشهر والأفصح
دون الشاذ أو القليل
“Penafsiran
Al Qurân dengan pendekatan bahasa haruslah memperhatikan makna yang masyhur dan
fasih bukan makna syadz atau jarang dipakai”
Kaidah
ini memberikan penegasan bahwa Al Qurân diturunkan dengan bahasa Arab yang faih
dan masyhur. Oleh sebab itu dalam penafsiran suatu ayat dengan penjelasan
bahasa haruslah dibawa kepada makna yang masyhur dan fasih bukan pada makna
yang jarang dipakai.
Contoh
penerapan kaidah ini seperti pada penafsiran firman Alloh:
﴿لَا
يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا﴾
Sebagian
ahli tafsir memahami makna البرد dengan النوم (=tidur). Ini adalah makna yang jarang
dipakai dalam bahasa Arab. Adapun makna yang sering dipakai adalah sesuatu yang
mendinginkan panas tubuh. Maka dalam hal ini makna fasih dan masyhur yang
diterima.
8.
لا يجوز حمل ألفاظ الكتاب على اصطلاح حادث
“Tidak
diperkenankan membawa lafadz al Kitab kepada istilah baru”
Maksud
dari kaidah ini adalah tidak bolehnya membawa makna lafadz qurâni kepada arti
yang didapatkan pada masa mutaakhirin, akan tetapi haruslah dibawa pada makna
yang diketahui periode awal umat ini.
Sebagai
misal dalam kaidah ini adalah makna “qoryah” dan “madinah” dalam al Qurân.
Penyebutan kedua kata tersebut bermakna satu yaitu negri. Sedangkan mutaakhirin
membedakan antara keduanya. Menurut mereka “madinah” adalah tempat yang luas
dan makmu serta lebih maju peradabannya atau diistilah dengan kota, sedangkan
kata qoryah adalah tempat yang lebih kecil dari “madinah” atau diistilahkan
dengan desa.
Begitu
juga dalam lafadz shodaqoh dalam Al Qurân, para sahabat memahami kata shodaqoh
sebagai kata yang meliputi zakat wajib dan shodaqoh yang sunnah. Adapun
mutaakhirin memahaminya sebagai dana social.
9.
القرآن عربي فيسلك به في الاستنباط والاستدلال مسلك العرب في بقرير
معانيها
“Al
Qurân menggunakan bahasa Arab maka pengambilan kesimpulan dan dalil haruslah
menggunakan bahasa Arab dalam penentuan makna-maknanya”
Kaidah
ini memberikan arahan khusus dalam berinteraksi dengan nash-nash syar’I tanpa
adanya takalluf (sesuatu yang dibuat-buat) dengan membawa makna nash syar’I
kepada sesuatu yang tidak ada atau sedikit korelasinya.
Kaidah
ini juga mengisyaratkan bahwa seorang mufassir hendaklah memiliki pengetahuan
tentang kondisi percakapan bahasa Arab dan cirri khasnya, seperti perkataan
bahasa Arab dengan lafadz umum namun yang dimaksudkan adalah dhohirnya, atau
perkataan umum yang memiliki dua pengertian yaitu umum dan khusu dan lain
sebagainya.
Contoh
penerapan kaidah ini adalah seperti pada penafsiran firman Alloh :
﴿وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه﴾ (Al Baqoroh:196)
Sebagian
orang salah memahami makna الإتمام dalam ayat tersebut, mereka
memahami bahwa hal itu menunjukkan tidak wajibnya ibadah haji karena kewajiban
itu tidak disebutkan secara jelas,akan tetapi yang disebutkan adalah perintah
untuk menyempurnakan. Jelas hal ini adalah penafsiran yang salah. Para ulama
menjelaskan bahwa disebutkan perintah untuk menyempurnakan dalam ayat tersebut
tanpa menyebutkan kewajibannya karena orang-orang Arab telah mengetahui
syari’at haji sebelum datanganya Islam. Mereka telah melakukannya dengan
tuntunan yang telah diubah-ubah oleh mereka sendiri serta menghilangkan
syi’ar-syi’ar haji seperti wukuf di Arofah, thowaf dalam keadaan telanjang dan
penyimpangan-penyimpangan lainnya. Lalu datanglah Islam menyempurnakan
kewajiban haji yang sudah adaengan syari’at Islam yang luhur.
Penutup
Ilmu
tafsir adalah ilmu yang agung, karena hakikatnya adalah periwayatan dari Alloh
ta’ala. Kesholihan pribadi seorang mufassir menjadi piranti penting dalam
sebuah penafsiran. Tanpa adanya kesholihan pribadi sudah barang tentu hasil
penafsirannya hanya berdasar pada hawa nafsunya.
Ilmu
tafsir memiliki kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama robbaniyyin
melalui proses tadabbur dan istiqro’ yang mendalam. Untuk itulah kecakapan
seorang mufassir dalam kaidah-kaidah bahasa Arab tidak bisa dipisahkan ketika
menyelami samudra ilmu tafsir.
Semoga
makalah yang sederhana ini bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi
semuanya. Saran dan kritik yang membangun dalam rangka penyempurnaan makalah
ringkas ini diharapkan oleh penulis. Akhirnya hanya kepada Alloh tempat memohon
hidayah dan taufiq agar diri terjaga dari kesesatan berfikir dan perilaku.
والله
أعلم بالصواب …
Maroji’ :
1.
Abul Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qurânul ‘Adzim, Beirut,
Daarul Jiil, tt.
2.
Kholid bin Utsman As Sabt, qowaidut tafsir, Mesir, Daar Ibnu
Affan, cetakan pertama, tahun 1421
3.
Abu Husain Muslim bin Al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi, Shohih
Muslim, Kairo, Daar Ibnu Haitsam, cetakan tahun 1422 H
4.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al Mughiroh Al
Bukhori, Shohih Bukhori, Kairo, Al Maktabah al Taufiqiyah
5.
Muhammad bin Ismail al Amiir As Shon’ani, Subulus Salam, Kairo,
Daarul ‘Aqidah, cet I, tahun 1423 H
6.
Ibnu Qoyyim al jauziyah, I’lamul Muqi’in, Maktabah Syamilah
7.
Ahmad bin Abdur Rohman Ash Shuyan, Manhaj at Talaqi wal Istidlal
baina ahlus sunnah wal mubtadi’ah, Riyadl, Daar As Sulaim, tt.
8.
Manna’ al Qotthon, Mabahits fi ‘Ulumil Qurân, Mansyurotul ‘Asril
Hadits, tt.
[1] Abu
al Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qurânul ‘Adzim, Beirut, Dârul Jiil, juz 1
hal 5
[2] Majma’
ahl lughoh, al Mu’jam al Wasith, Istanbul-Turki, al Maktabah al Islamiyyah, juz
2 hal 748
[3] Kholid
bin Utsman As sabt, Qowa’idut Tafsir, Mesir, Daar Ibn ‘Affan, cetakan pertama,
tahun 1421 H, jilid 1 hal 23
[4] Ibid,
hal 29
[5] HR.
Muslim no.442
[6] HR
Bukhori (4887) dan Muslim (2125)
[7] Muhammad
bin Ismail Ash Shon’ani, Subulus salam, Kairo, Daarul ‘Aqidah, cet I, tahun
1423 H, jilid 4 hal 301
[8] Ibnu
Qoyyim al Jauziyah, I’lamul muwaqi’in, Maktabah Syamilah, jilid 1 hal 113
[9] Ahmad
bin Abdur Rohman Ash Shuyan, Manhaj Talaqqi wal Istidlal, bainan ahlis sunnah
wal mubtadi’ah, Riyadl, Daar as Sulaim, hal 50-58
[10] HR.
Bukhori (no.9) dan Muslim (58)
[11] Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Tafsir Ath Thobari, Maktabah Syamilah,
juz 22 hal 102
[12] Abu
al Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qurân al ‘Adzim, Beirut, Dâr al Jiil, juz
1 hal 374
Subscribe to:
Posts (Atom)